Shahih menurut bahasa lawan dari kata Saqim
(sakit). Kata shahih juga telah menjadi kosakata bahasa Indonesia dengan
arti sah; sempurna sehat (tiada segalanya); pasti. Pengertian hadits shahih
secara definitif eksplisif belum dinyatakan oleh ahli hadits dari kalangan al-muttaqaddimin
(sampai abad III H). Mereka pada umumnya memberikan penjelasan
mengenai criteria penerimaan hadits yang
dipegangi. Diantaranya pernyataan-pernyataan mereka adalah: tidak diterima periwayatan
suatu hadits kecuali yang bersunber dari orang-orang yang tsiqqat, tidak
diterima periwayatan suatu hadits yang bersumber dari orang-orang yang tidak
dikenal memiliki pengetahuan hadits, dusta, mengikuti hawa nafsu, orang-orang
yang ditolak kesaksiannya.
Gambaran mengenai pengertian hadits
shahih agak jelas setelah imam Syafi’I memberikan ketentuan bahwa riwayat suatu
hadits dapat dijadikan hujjah, apabila:
1. Diriwayatkan
oleh para perawi yang dapat dipercaya pengalaman agamanya; dikenal sebagai orang
yang jujur memahami dengan baik hadits yang diriwayatkan mengetahui perubahan
arti hadits bila terjadi perubahan lafaznya; mampu meriwayatkan hadits secara
lafaz; terpelihara hapalannya, bila meriwayatkan hadits secara lafaz, bunyi
hadits yang diriwayatkan sama dengan punya hadist yang diriwayatkan oleh orang
lain; dan terlepas dari tadlis (penyembunyian cacat).
2. Rangkaian
riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi SAW, atau dapat juga tidak sampai
kepada nabi.
Dilihat dari pernyataan
seperti ini, imam Syafi’I di pandang sebagai ulama yang mula-mula menetapkan
kaidah keshahihan hadits. Pendapat ini sangat logis, sebab bila di kaji
pernyataan imam Syafi’I tersebut bukan hanya berkaitan dengan sanad, akan
tetapi berkaitan juga dengan mattannya. Hal ini dapat di lihat pada pernyataan
tentang keharusan mengetahui hadits yang diriwatkan dengan lafadz sebagai mana
di sebutkan diatas. Sehingga dengan criteria-kriteria seperti ini, kiranya
sulit dikatakan bahwa haditsnya tidak shahih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar